Senin, 31 Maret 2008

Yusuf Qordhowi



السيرة والسنة.. أسباب الخلط والاضطراب



الدكتور يوسف القرضاوي

من أسباب الخطأ والاضطراب في الفقه السياسي: الخلط بين السنة والسيرة في الاحتجاج؛ فالسنة مصدر للتشريع والتوجيه في الإسلام بجوار القرآن الكريم؛ والقرآن هو الأصل والأساس، والسنة هي البيان والتفسير والتطبيق.

ولكن الخطأ الذي يقع فيه البعض هنا أنه يضع السيرة موضع السنة ويستدل بأحداث السيرة النبوية على الإلزام كما يستدل بالسنة والقرآن.

والسيرة ليست مرادفة للسنة؛ فمن السيرة ما لا يدخل في التشريع ولا صلة له به؛ ولهذا لم يدخل الأصوليون السيرة في تعريف السنة بل قالوا: السنة ما صدر عن النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير ولم يجعلوا منها السيرة.

أما المحدثون فهم الذين أضافوا إلى القول والفعل والتقرير الوصف الخَلْقي والخُلقي والسيرة؛ لأنهم يجمعون كل ما يتعلق به مما له علاقة بالتشريع وما لا علاقة له به؛ فيروون من حياته ما قبل البعثة من المولد والرضاع والنشأة والشباب والزواج... إلخ ويروون أوصافه الخِلْقية والخُلُقية ويروون كل ما يتصل بحياته ووفاته.

المهم أن بعض الفصائل الإسلامية تتخذ من السيرة دليلاً مطلقًا على الأحكام وتعتبرها ملزمة لكل المسلمين.

وهنا ملاحظتان مهمتان:

الأولى: أن في السيرة كثيرًا من الوقائع والأحداث مروية بغير السند المتصل الصحيح؛ فقد كانوا يتساهلون في رواية السيرة ما لا يتساهلون في رواية الأحاديث المتعلقة بالأحكام وأمور الحلال والحرام.

والثانية: أن السيرة تمثل الجانب العملي من حياة النبي؛ أي تمثل قسم الفعل من السنة غالبًا.

والفعل لا يدل على الوجوب والإلزام وحده إنما يدل على الجواز فقط، أما الوجوب فلا بد له من دليل آخر.

صحيح أننا مطالبون بالاقتداء بسنة النبي صلى الله عليه وسلم:{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا} (الأحزاب:21). ولكن الآية تدل على استحباب التأسي والاقتداء به لا على وجوبه.

على أن اتخاذ الأسوة من سيرته إنما يكون في الأخلاق والقيم والمواقف العامة لا في المواقف التفصيلية.

فليس من الضروري أن نقتدي به بالبدء بالدعوة سرًا إذا كان الجهر ميسورًا ومأذونا به.

وليس من الضروري أن نهاجر كما هاجر إذا لم يكن لدينا ضرورة للهجرة بأن كنا آمنين في أوطاننا متمكنين من تبليغ دعوتنا.

ولهذا لم تعد الهجرة إلى المدينة فرضًا على كل مسلم بعد فتح مكة كما كانت من قبل، ولهذا قال الرسول -صلى الله عليه وسلم-: "لا هجرة بعد الفتح ولكن جهاد ونية وإذا استنفرتم فانفروا" (متفق عليه وهو مروي عن عدد من الصحابة)؛ أي لا هجرة إلى المدينة وإن بقيت الهجرة من كل أرض لا يتمكن المسلم من إقامة دينه فيها.

وليس من الضروري أن نطلب النصرة من أصحاب السلطة والقوة كما طلبها الرسول الكريم صلى الله عليه وسلم من بعض القبائل فاستجاب له الأوس والخزرج؛ إذ لم يعد ذلك أسلوبًا مجديًا في عصرنا.

وليس من الضروري أن نظل ثلاثة عشر عامًا نغرس العقيدة وندعو إليها؛ لأننا اليوم نعيش بين مسلمين يؤمنون بأن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله صلى الله عليه وسلم فليسوا محتاجين إلى أن نعلمهم العقيدة مثل هذه المدة.

وإذا اهتممنا اليوم بالعدالة الاجتماعية أو الشورى والحرية أو بالقدس والمسجد الأقصى أو بالجهاد ضد أعداء الأمة فليس ذلك مخالفة للهدي النبوي الذي لم يهتم بهذه الأمور إلا في المدينة؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم كان في مكة في مجتمع جاهلي مشرك بالله مكذب برسالة محمد صلى الله عليه وسلم فكانت المعركة الأولى معه حول التوحيد والرسالة.

بخلاف مجتمعنا اليوم فقد آمن بالله ربًا وبالإسلام دينا وبمحمد صلى الله عليه وسلم رسولاً، وإن كان فيه ما فيه من المعصية والانحراف عن شرع الله..

Selasa, 18 Maret 2008

resensi

Menyongsong Fajar Kemenangan Islam


Judul : Menyongsong Fajar Kemenangan Islam
Penulis : Al Imam Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah
Penyusun : Syaikh Salim bin 'Ied al Hilali
Penerjemah : Abu Sumayyah Beni Sarbeni, LC
Penerbit : Media Tarbiyah
Cetakan : Pertama/ November 2007
Halaman : 125

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa kaum muslimin sekarang ini telah ditimpa oleh kehinaan yang menyebabkan kaum muslimin lemah dihadapan umat yang lain. Padahal kondisi seperti ini tidak seharusnya terjadi. Menarik untuk diselidiki bagaimana kehinaan bisa menimpa kaum muslimin? Apa
penyebabnya? Setelah kita mengetahui penyebabnya, maka diharapkan kita bisa memberikan solusi atas keterpurukan ini. Untuk kemudian bisa melepaskan kehinaan yang menimpa kaum muslimin dan membawa kaum muslimin ke alam kejayaan sebagaimana telah dialami oleh generasi sebelumnya.

Buku ini merupakan karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani rahimahullah yang kemudian disusun ulang dan diberi catatan oleh murid beliau yaitu Syaikh Salim bin 'Ied al Hilali. Di dalamnya dijelaskan tentang penyebab keterpurukan yang dialami oleh kaum muslimin. Selanjutnya Syaikh memberikan solusi untuk mengatasi keterpurukan tersebut.

Syaikh Albani menerangkan di buku tersebut bahwa keterpurukan ini telah disketsakan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam dalam sebagian hadits-hadits tsabit, diantaranya:

"Jika kalian telah berjual beli dengan cara 'inah, kalian pun telah mengikuti ekor-ekor sapi, ridha terhadap pertanian dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, yang (kehinaan tersebut) tidak akan bisa dicabut hingga kalian kembali kepada agama kalian." (As Silsilah Ash Shahiihah no. 11).

Syaikh Albani melanjutkan tentang penyebab keterpurukan ini,
"Dalam hadits ini dapat kita ketahui bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam menyebutkan beberapa penyakit yang menyebar, bahkan meliputi kaum muslimin. Dalam hadits di atas beliau menyebutkan dua penyakit sebagai permisalan bukan untuk membatasi:

Penyakit pertama: Terjatuhnya kaum muslimin ke dalam berbagai perbuatan haram dengan berbagai siasat, padahal ia mengetahuinya.

Penyakit kedua: Dari perkara yang diketahui dan disepakati oleh kaum muslimin tentang penyimpangannya dari syariat Islam."

Untuk penyakit yang pertama, Syaikh Albani menyebutkan contohnya adalah 'inah, yang pada hakikatnya adalah pinjaman dengan tambahan. Dengan demikian termasuk dalam riba. Dalam hal ini Syaikh Albani berkata,

"Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam menyebutkan jual beli 'inah, hal ini hanya merupakan contoh, bukan pembatasan. Dengannya, beliau Shallallahu'alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa setiap perbuatan haram yang dilakukan oleh seorang muslim, lalu ia menganggapnya sebagai
amalan halal dengan berbagai jalan takwil, maka akibatnya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menghinakannya, dan Allah pun akan menghinakan kaum muslimin apabila perbuatan tersebut telah merebak dan menyebar di kalangan mereka."

Untuk penyakit yang kedua Syaikh Albani menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah sibuk dengan usaha dan berjalan di belakang gemerlapnya dunia. Kemudian lupa dengan kewajiban dan tenggelam dalam pertanian, peternakan, dan usaha yang lainnya. Dan diantara kewajiban yang dilupakan itu adalah
jihad di jalan Allah. Ini adalah penyebab kaum muslimin tertimpa kehinaan. Dan solusinya adalah
"Hingga kalian kembali kepada agama kalian" sebagaimana disebut dalam hadits Nabi di atas.

Berkata Syaikh Albani,
"Sungguh, kita telah terjangkiti penyakit ini yang akhirnya menjadikan kita sakit, yakni kita berada dalam kehinaan. Karenanya, hendaklah kita mengambil obat yang disifati dan dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, bahwa jika kita kembali kepadanya niscaya kehinaan itu akan Allah
lenyapkan."

Untuk kembali kepada agama bukanlah perkara yang mudah. Bahkan ini perlu kerja keras.

Syaikh Albani melanjutkan,
"Jadi, saya tegaskan bahwa satu-satunya jalan adalah kembali kepada agama, namun -seperti diketahui oleh semua, khususnya orang-orang faqih- banyak sekali masalah dalam agama ini yang diperdebatkan, dan perbedaan ini tidak hanya terbatas pada sedikitnya masalah cabang, bahkan sebaliknya, perbedaan
ini banyak terjadi dalam masalah 'aqidah ..."

Berkata Syaikh Albani menjelaskan yang dimaksud dengan kembali kepada agama,
"Lalu, agama bagaimana yang mesti dijadikan tempat kembali?! Apakah agama yang berdasarkan madzhab si fulan, atau madzhab lainnya? Dan perhatikanlah perbedaan yang terjadi diantara madzhab yang empat, yang kita katakan sebagai madzhab Ahlus Sunnah. Kemudian, agama manakah yang menjadi solusi agar kehinaan tersebut dilenyapkan dari kita? Padahal jika kita kembali kepada salah satu madzhab,
maka kita akan mendapati beberapa masalah-masalah -bahkan puluhan atau ratusan masalah- yang menyelisihi Sunnah, jika sebagiannya tidak dikatakan menyelisihi Al Qur'an. Karenanya, kami melihat bahwa perbaikan -yang harus dilakukan oleh setiap da'i dan orang-orang yang menyerukan tegaknya daulah Islamiyah dengan ikhlas- adalah memberikan pemahaman kepada diri mereka sendiri terhadap
Islam sebagai langkah pertama.
Langkah kedua, memberikan pemahaman kepada umat akan hal itu, dan tidak ada jalan untuk kembali kepada Islam yang hakiki seperti yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan MEMPELAJARI AL QUR'AN DAN ASSUNNAH".

Pada beberapa halaman berikutnya Syaikh Albani menegaskan,
"Maka kembali kepada agama adalah kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah, karena itulah yang dimaksud agama berdasarkan kesepakatan para Imam, dan itulah jaminan agar kita tidak menyimpang dan tidak juga terjerumus ke dalam kesesatan. Oleh karena itu Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,

"Aku telah tinggalkan dua hal bagi kalian di mana kalian tidak akan tersesat setelah (berpegang teguh kepada) keduanya; yaitu Kitabullah dan Sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang kepadaku di haudh (telaga)." (Shahiihul Jaami' no. 2937)."

Kemudian Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata,
"Ungkapan terakhir dari saya tentang "Kembali kepada Agama" adalah:
Jika kita ingin mendapatkan kemuliaan dan terlepas dari segala kehinaan, maka tidak cukup dengan mewujudkan langkah yang telah saya isyaratkan sebelumnya, yakni tidak cukup hanya dengan meluruskan pemahaman, atau dengan melenyapkan berbagai pendapat yang menakwilkan dalil-dalil syar'i di
kalangan para ulama dan ahli fiqh."

"Bahkan ada perkara lain yang sangat penting dari proses pemurnian, yaitu amal, karena sesungguhnya ilmu adalah media dalam mencapai pengamalan. Jika Anda mengenal seseorang yang berilmu dan ilmunya pun bersih lagi jernih, akan tetapi ia tidak mengamalkannya, maka sangat logis jika kita mengatakan bahwa ilmunya tidak berbuah. Oleh karena itu ilmu haruslah disertai pangamalan. Dan wajib bagi para ulama membina generasi muslim yang baru di bawah naungan ajaran Al Qur'an dan As Sunnah. Maka, tidak dibenarkan mereka membiarkan manusia berada di atas ajaran yang mereka dapat dari berbagai pemahaman yang salah, sebagian darinya merupakan kebathilan yang disepakati, dan sebagian lainnya diperdebatkan walaupun secara ijtihadi terdapat sisi kebenaran, akan tetapi sebagian dari ijtihad tersebut bertentangan dengan Sunnah."
"Pembinaan inilah yang akan membuahkan masyarakat Islam yang murni, dan pada akhirnya Daulah Islamiyah bisa ditegakkan. Tanpa dua pendahuluan ini, yaitu ilmu dan tarbiyah yang benar menuju pengamalan, maka mustahil -menurut keyakinan saya- Islam atau Daulah Islamiyah bisa tegak."


[EPILOG]
---------------
Membaca dan memahami dari apa yang diterangkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani rahimahullah, bahwa agar kaum muslimin bisa mencapai kejayaannya, tidak bisa ditempuh kecuali dengan kembali kepada agama Islam. Dan hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan kembali kepada Al Qur'an dan
As Sunnah. Tentu saja yang dimaksud dengan As Sunnah adalah hadits-hadits yang sah yang bisa dijadikan pegangan.
Kemudian, bila kita telah sepakat untuk kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah, tentu kita harus meninggalkan pendapat-pendapat dari madzhab yang bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah. Pada ringkasan ini tidak saya sertakan contoh-contoh yang dibawakan oleh Syaikh Albani, semata-mata untuk ringkasnya tulisan ini.

Demikian secara sangat ringkas apa yang bisa saya kutip dari buku Menyongsong Fajar Kemenangan Islam. Saya berharap agar apa yang saya tuliskan ini mempunyai nilai di sisi Allah Jalla wa 'Ala dan mempunyai andil untuk kemenangan yang kedua setelah kemenangan yang pertama di tangan Muhammad al Fatih al Utsmani yang membebaskan negeri Konstantinopel. Amiin.

Zaenal Arifien, Kairo awal musim panas 2008

Sabtu, 15 Maret 2008

seri biografi





BIOGRAFI IBNU ABBAS

Abdullah ialah anak Abbas, bapa saudara Nabi SAW. Beliau dilahirkan tiga tahun sebelum berlakunya peristiwa hijrah. Apabila Nabi SAW wafat, Abdullab baru berusia tiga belas tahun. lbunya bernama Lubahah binti Harith yang terkenal dengan panggilan Ummu Fadhal. Ahdullah lahir beberapa tahun sebelum hijrah.

Ketika beliau dilahirkan, ibunya membawanya pergi berjumpa Nabi SAW yang mana baginda meletakkan sedikit air liurnya ke atas lidah bayi itu sebelum Abdullah mula menghisap susu. Ini adalah permulaan ikatan yang erat di antara Abbas dan Nabi SAW yang rnenjadi bahagian daripada kebaktian dan kecintaannya sepanjang hayatnya.

Apabila Abdullah mencapai usia baligh, beliau menyerahkan dirinya untuk berkhidmat kepada Nabi SAW. Beliau selalu rnengambilkan air ketika baginda ingin berwudhu. Sewaktu solat, beliau akan berdiri di belakang Nabi SAW untuk berjamaah bersama baginda, apabila Nabi SAW pergi mengadakan perjalanan atau bermusafir, beliau turut sama bepergian bersama baginda. Dengan demikian, Abdullah menjadi seperti bayang-bayang Nabi, sentiasa berada di samping baginda.

Dalam semua situasi ini, beliau sentiasa mengambil perhatian dan mengingati apa saja yang dilakukan serta diucapkan oleh baginda SAW. Hatinya penuh bersemangat dan pemikiran mudanya masih bersih serta tidak bercelaru, mengingati setiap perkataan yang diucapkan oleh Rasulullah SAW dengan kebolehan dan ketelitian. Dengan cara ini dan melalui pengkajiannya yang berterusan setelah itu, sebagaimana kita akan lihat nanti, Abdullah menjadi salah seorang dan sahabat Nabi SAW yang paling berilmu dan meriwayatkan hadith-hadith Nabi SAW yang sentiasa berada di dalam ingatan generasi Muslim selepas itu.

Diriwayatkan bahawa beliau meriwayatkan kira-kira seribu enam ratus enam puluh hadith-hadith Rasulullah SAW yang dicatit dan disahihkan di dalam Sahih Bukhari dan Muslim.

Nabi SAW kerap mendekatkan Abdullah yang masih kanak-kanak itu pada diri baginda. Pada suatu hari Rasul memanggil Abdullah yang sedang merangkak-rangkak di atas tanah, menepuk-nepuk bahunya dan mendoakannya:

“Ya Allah, jadikanlah Ia seorang yang mendapat pemahaman mendalam mengenai agama Islam dan berilah kefahaman kepadanya di dalam ilmu tafsir.”

Sesudah itu, banyak kali Rasulullah SAW mengulangi doa tersebut untuk anak saudaranya itu dan kemudian Abdullah ibnu Abbas rnenyedari bahawa seluruh hidupnya haruslah dihabiskan untuk mengejar ilmu pengetahuan. Nabi SAW juga mendoakan beliau agar bukan saja mendapat ilmu pengetahuan dan pemahaman bahkan juga hikmah dan kebijaksanaan. Abdullah menceritakan peristiwa berikut mengenai dirinya:

“Suatu ketika Nabi SAW hendak mengambil wudhu’, maka aku bersegera mendapatkan air untuknya. Baginda gembira dengan apa yang telah aku lakukan itu. Sewaktu baginda hendak memulakan solat, baginda menunjukkan isyarat supaya aku bendiri di sebelahnva. Namun, aku berdiri di belakang baginda. Setelah selesai solat, baginda menoleh ke arahku lalu berkata:

“Hai Abdullah, apa yang menghalang engkau dari berada di sebelahku?”Aku berkata: “Ya Rasulullah, engkau terlalu mulia dan terlalu agung pada pandangan mataku ini untuk aku berdiri bersebelahan denganmu.”

Rasulullah SAW mengangkat tangannya ke langit lalu berdoa:

“Ya Allah, kurniakanlah ia hikmah dan kebijaksanaan dan berikanlah perkembangan ilmu daripadanya.”

Tidak syak lagi doa Rasulullah SAW itu dikabulkan untuk Abdullah yang masih muda belia, dan hal ini dibuktikan dengan berlalunya masa di mana Abdullah memiliki kebijaksanaan yang melebihi usianya. Tetapi hikmah itu hanya datang dengan kebaktian dan kesungguhan mengejar ilmu pengetahuan di masa Nabi SAW masih hidup dan selepas kewafatan baginda.

Di zaman Rasulullah SAW, Abdullah tidak pernah meninggalkan majlis-majlis yang diadakan oleh baginda, dan beliau sentiasa mengingati apa saja yang diucapkan oleh baginda SAW. Setelah Rasulullah SAW wafat, beliau sentiasa berusaha pergi menemui seberapa ramai sahahat yang mungkin terutamanya para sahabat yang mengenali Nabi lebih lama dan beliau mempelajari apa yang telah diajarkan oleh Nabi SAW kepada mereka semua. Setiap kali beliau mendengar bahawa seseorang mengetahui mengenai sesuatu hadith Nabi SAW yang tidak diketahuinya, beliau segera pergi menemui orang itu dan mencatit hadith tersebut. Beliau selalu meneliti dan menyelidiki hadith-hadith yang diterimanya dan akan membandingkannya dengan lain-lain laporan yang diterimanya. Beliau selalu pergi mendapatkan para sahabat lain sehingga tiga puluh orang untuk mengesahkan satu-satu persoalan yang didapatinya itu.

Abdullah menerangkan apa yang telah dilakukannya setelah beliau mendengar bahawa salah seorang sahabat Rasulullah SAW mengetahui suatu hadith yang tidak diketahui olehnya:

“Aku pergi menemuinya sewaktu dia tidur siang dan membentangkan jubahku di pintu rumahnya. Angin meniupkan debu ke atas mukaku sewaktu aku menunggunya bangun dan tidurnya. Sekiranya aku ingin, aku boleh mendapatkan keizinannya untuk masuk dan tentu dia akan mengizinkannya. Tetapi aku lebih suka menunggunya supaya dia bangun dalam keadaan segar kembali. Setelah ia keluar dan mendapati diriku dalam keadaan itu, dia pun berkata: “Hai sepupu Rasulullah! Apa jadi dengan engkau ini? Kalau engkau mengirimkan seseorang kemari, tentulah aku akan datang mendapatkanmu” Aku berkata: “Akulah yang sepatutnya datang rnendapatkan engkau, kerana ilmu itu dicari, bukan datang sendiri.” Aku pun bertanya kepadanya mengenai hadith yang diketahuinya itu dan mendapatkannya daripadanya”

Dengan cara ini, Abdullah yang berdedikasi itu sentiasa bertanya, bertanya dan terus bertanya. Dan dia sentiasa menapis, menyaring dan menyelidiki dengan mendalam maklumat yang diterimanya dengan hatinya yang penuh minat dan berhati-hati.

Abdullah bukan saja pakar dalam meriwayatkan hadith-hadith, bahkan beliau juga turut mengabdikan dirinya mendapatkan ilmu pengetahuan dalam pelbagai hidang ilmu yang luas. Beliau memiliki rasa takjub yang khusus terhadap orang-orang seperti Zaid bin Thabit, pencatit wahyu, qadhi dan penasihat yang terkemuka di Madinah, pakar dalam hukum warisan dan dalam membaca al-Qur’an.

Bila Zaid berniat untuk pergi bermusafir, Abdullah yang masih muda itu akan berdiri dengan hormat di sebelahnya dan mengambil tali kekang kenderaannya dan berlagak seperti hamba yang hina di depan tuannya. Zaid berkata kepadanya: “Hai sepupu Rasulullah, janganlah begitu.”

Abdullah berkata: “Begitulah cara yang disuruh supaya kita menghormati orang-orang yang lebih alim di kalangan kita.”

Zaid menjawab: “Tunjukkanlah tanganmu.”

Abdullah menghulurkan tangannya. Zaid mencapainya lalu menciumnya dan berkata: “Begitulah cara yang disuruh kita agar melayani ahli bait Rasulullah SAW.”

Semakin bertambah ilmu Abdullah, maka semakin bertambahlah beliau dalam perawakan dan ketinggiannya. Beliau berkulit putih campur kuning, berbadan tinggi, tidak kurus, sikapnya tenang dan wajahnya berseri-seri. Ia selalu mencelup janggutnya dengan inai. Masruq ibn aI-Ajda herkata mengenainya:

“Apabila engkau melihat Abdullah ibn Abbas maka engkau akan mengatakan, bahawa ia seorang manusia yang tampan. Apabila engkau berkata dengannya, nescaya engkau akan mengatakan, bahawa ia adalah seorang yang paling fasih lidahnya. Jikalau engkau membicarakan ilmu dengan Abdullah ibn Abbas, maka engkau akan mengatakan bahawa Ia adalah lautan ilmu.”

Di samping tubuhnya yang bagus, Abdullah ibn Abbas mempunyai perangai yang terpuji, budi pekerti mulia dan hati yang rendah, tetapi tegas dan tidak suka melakukan perbuatan sia-sia.

Khalifah Umar ibn al-Khattab selalu mendapatkan nasihatnya ke atas permasalahan-permasalahan negara yang penting dan menerangkan beliau sebagai “pemuda yang matang.”

Selanjutnya, Umar pernah berkata: “Sebaik-baik tafsir al-Qur’an ialah dari Ibnu Abbas. Apabila umurku masih Ianjut, nescaya aku akan selalu bergaul dengan Abdullah ibn Abbas.”

Saad ibn Abi Waqqas nenerangkan beliau dengan kata-katanya ini:
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih cepat dalam memahami sesuatu, yang lebih berilmu dan lebih bijaksana daripada Ibn Abbas. Aku telah melihat Umar memanggilnya untuk membicarakan masalah-masalah yang sukar di depan kehadiran ahli Badar di kalangan Muhajirin dan Ansar. Ibn Abbas berbicara dan Umar tidak memandang remeh akan kata-katanya itu.”

Sifat-sifat inilah yang menjadikan Abdullah ibn Abbas terkenal sebagai “orang yang paling alim di kalangan ummah ini.” Abdullah ibn Abbas tidak berpuas hati dengan setakat mengumpulkan ilmu pengetahuan. Beliau merasakan bahawa beliau mempunyai tugas ummah untuk mengajar mereka yang mencari ilmu pengetahuan dan seluruh umat Islam pada umumnya. Lalu beliau mengajar dan rumahnya dan rumnahnya menjadi sebuah universiti.

Kelas-kelas pengajian yang diadakan oleh Abdullah Ibnu Abbas sentiasa mendapat sambutan yang sungguh menggalakkan. Salah seorang sahabatnya menceritakan permandangan biasa selalu terjadi di depan rumahnya:
“Aku melihat orang ramai berkumpul di atas jalan-jalan yang menuju ke rumahnya sehingga hampir-hampir tiada jalan kosong di situ. Aku masuk ke dalam dan memberitahu beliau mengenai orang ramai yang berkumpul di pintunya, lalu dia berkata: “Tolong ambilkan air untuk aku berwudhu’.” Beliau mengambil wudhu’ lalu duduk dan berkata: “Keluarlah dan katakan kepada mereka: “Barangsiapa yang ingin bertanya mengenai Qur’an dan surah-surahnya, maka benarkan ia masuk.”

“Aku lakukan perintahnya itu dan orang ramai berpusu-pusu masuk sehingga rumahnya penuh sesak. Apa saja yang ditanyakan mereka kepadanya, maka Abdullah dapat menjelaskan dan bahkan dapat menambahkan keterangan mengenai pertanyaan bagi persoalan yang dikemukakan. Kemudian, beliau berkata (kepada murid-muridnya): “Berilah jalan pada saudara-saudara kamu.” Kernudian beliau berkata kepadaku: “Keluarlah dan katakanlah: Barangsiapa yang ingin bertanya mengenai al-Qur’an dan tafsirannya, maka benarkanlah ia masuk” Sekali lagi, rumahnya itu dipenuhi dengan orang ramai yang ingin bertanyakan soalan yang dimaksudkan dan Abdullah berjaya menerangkan serta menambahkan lagi keterangan mengenai persoalan yang dikemukakan sehingga mereka berpuas hati.”

Dan demikianlah berterusan orang ramai berduyun-duyun keluar masuk untuk membincangkan ilmu fiqh, halal dan haram dalam Islam, hukum warisan, ilmu bahasa, syair dan etimologi.

Untuk mengelakkan kesesakan orang ramai yang berduyun-duyun masuk untuk membincangkan pelbagai masalah dalam satu hari, Abdullah bercadang untuk mengadakan satu hari yang khusus bagi sesuatu pelajaran. Hanya satu permasalahan berkaitan Al-Qur’an yang diajarkan kepada mereka dalam satu hari manakala pada hari yang lain beliau mengajar masalah fiqh pula. Sunnah Nabi, syair, sejarah bangsa Arab sebelum Islam, masing-masing dikhususkan pada hari-hari tertentu. Abdullah ibn Abbas memasukkan daya ingatan yang kuat dan pemikiran yang sukar dalam pengajaran-pengajarannya. Keterangan-keterangan yang disampaikannya begitu jelas, logik dan tepat. Hujah-hujahnya sangat meyakinkan, di sokong oleh nas-nas yang tepat dan fakta-fakta sejarah yang berlaku.

Suatu ketika beliau pernah menggunakan kekuatan keyakinannya yang sukar itu sewaktu kekhalifahan Ali. Sejumlah besar para penyokong Ali yang menentang Muawiyah baru saja meninggalkannya. Abdullah ibn Abbas pergi menemui Ali dan meminta ia untuk berucap kepada mereka. Ali keberatan kerana khuatir kalau-kalau Abdullah berada dalam bahaya di tangan mereka, namun beliau rnemberi jalan juga kepadanya kerana Abdullah optimis bahawa tiada apa yang akan berlaku kepadanya.

Abdullah mendapatkan orang-orang itu ketika meneka sedang leka beribadah. Sebahagian dari mereka enggan membenarkan beliau berucap, namun yang lain-lainnya bersedia mendengar kata-katanya.

Abdullah bertanya: “Katakanlah padaku, apa yang menyebabkan kamu rasa terkilan terhadap sepupu Rasulullah, suami puterinya dan orang yang pertama beriman kepada baginda?”

Orang-orang itu pun mengadukan tiga perkara utama terhadap Ali. Pertama, beliau telah melantik orang supaya bertahkim dalam persoalan yang berhubung dengan agama Allah — bermaksud bahawa Ali telah bersetuju untuk menerima keputusan tahkim Abu Musa al-Asy’ani dan Amrihn al-As dalam menentang Muawiyah. Kedua, Ali berperang tetapi tidak mengambil harta rampasan ataupun para tawanan. Ketiga, beliau enggan menerima jawatan Amir al-Mu’minin ketika proses perdamaian meskipun kaum Muslimin telah menganbil bai’ah kepadanya dan beliau menjadi amir yang sah bagi mereka. Bagi mereka Hal itu jelas menunjukkan tanda-tanda kelemahan dan menandakan bahawa Ali telah bersedia mengaibkan kedudukan sahnya sebagai Amir al-Mu’minin,

Dalam jawapannya, Abdullah bertanya mereka apakah beliau boleh membacakan ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith Rasulullah SAW yang ada hubungan dengan kritikan mereka, yang tidak dapat mereka nafikan dan supaya mereka bersedia mengubah kedudukan mereka. Mereka menjawab bahawa mereka sanggup mendengarnya, lalu Abdullah pun berkata:

“Mengenai kenyataan kamu yang mengatakan bahawa Ali telah melantik orang untuk mengadakan tahkim dalam persoalan yang berhubung dengan agama Allah, Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh haiwan buruan ketika di kawasan Tanah Haram atau ketika sedang menunaikan haji. Sekiranya salah seorang kamu melakukannya dengan niat sengaja, maka gantinya hendaklah kamu mensedekahkan seekor haiwan ternakan yang sama nilainya dengan haiwan yang dibunuhnya dan diputuskan oleh dua orang di kalangan kamu’

‘Demi Allah, aku memohon pada kamu! Apakah putusan yang dilakukan oleh manusia dalam persoalan yang berhuhung dengan pemeliharaan darah dan nyawa mereka dan mengadakan perdamaian di antara mereka lebih patut diperhatikan daripada putusan ke atas seekor arnab yang nilainya hanya seperempat daripada sedirham”

Jawapan mereka ialah sudah tentulah putusan perdamaian itu lebih utama dan penting dalam memelihara darah kaum Muslimin daripada membunuh haiwan buruan di kawasan tanah suci yang diharamkan Allah ke atas manusia.

“Adakah kita sudah selesaikan perkara ini?’ tanya Abdullah dan kemudian mereka menjawab:

“Allahumma, naam - ya, wahai Allah. Abdullah meneruskan kata-katanva “Manakala perkataan kamu bahawa Ali berperang tetapi tidak mengambil orang tawanan perang sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW, apakah kamu benar-benar ingin mengambil “ibu”mu, Aisyah sebagai tawanan dan melayannya seperti haiwan buruan sebagaimana biasa layanan terhadap para tawanan? Jika jawapan kamu ialah ya , jadi kamu telah jatuh ke dalam kekufuran terhadap Allah, Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi, Dia telah berfirman:

“Kamu itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka.”
(al—Ahzab:6 ).

“Kamu pilihlah sendiri apa yang kamu suka” kata Abdullah lalu kemudian beliau bertanya: “Maka apakah kita telah selesaikan perkara ini?”

Mereka menjawah: “Allahumma, naam — Ya Allah, ya!” Abdullah meneruskan kata-katanya: “Sedang bagi kata-kata kamu bahawa Ali telah menolak gelaran Amir al-Mu’minin, (ingatlah) bahawa Nabi SAW sendiri di waktu perjanjian Hudaibiyah, menuntut agar kaum musyrikin menulis dalam perjanjian perdamaian itu yang diakhirinva dengan kata-kata: “ini adalah apa yang telah dipersetujui oleh Rasulullah, lalu mereka membantah: “Jika kamu beriman bahawa kamu ini utusan Allah, kami pasti tidak menghalang kamu dari rnemasuki Kaabah dan kami juga tidak memerangi kamu. Hendaklah kamu tulis Muhammad bin Abdullah.”

Rasulullah SAW bersetuju dengan tuntutan mereka, namun baginda berkata: “Demi Allah, aku adalah Rasul Allah meskipun mereka rnenolakku.”

Pada ketika ini, Abdullah ibn Abbas bertanya para pembangkang tersebut: “Apakah kita telah menyelesaikan perkara ini?”

Dan sekali lagi jawapan rnereka ialah: “Allahumma, naam — Ya Allah, ya!”

Salah satu dari hasil keahlian lisan yang ditunjukkan oleh Abdullah melalui pengetahuannva yang mendalam dalam ilmu al-Qur’an dan sirah Rasulullah SAW dan juga kekuatan hujah dan pandai memberi keyakinan telah menyebabkan orang-orang yang rnengeluarkan diri mereka dari kumpulan Ali itu, berjumlah kira-kira dua puluh ribu orang, kembali ke dalam barisan Ali. Namun demikian, kira-kira empat ribu orang tetap berdegil. Mereka ini kemudian dikenali dengan nama Khawarij.

Dalam situasi ini dan juga lain-lain situasi, Abdullah lebih suka memilih perdamaian daripada perang, dan logik daripada paksaan dan keganasan. Walaubagaimanapun, beliau tidak hanya dikenal kerana keberaniannya, pemikiran tajamnya dan ilmunya yang luas, beliau juga terkenal kerana kemurahan hati dan kedermawanannya, Sebahagian daripada teman-temannya berkata:

Kami tidak pernah melihat sebuah rumah yang ada makanan dan minuman atau ilmu melebihi rumah lbn Abbas.”

Beliau amat mengambil berat dan bersimpati terhadap keadaan masyarakat. Beliau pernah berkata:

“Bila aku mengetahui pentingnya satu ayat daripada Kitab Allah, aku berharap agar semua orang turut rnengetahui apa yang telah kuketahui itu.”

“Bila aku mendengar seorang pemerintah muslim yang memerintah dengan adil dan saksama, aku merasa gembira dan mendoakannya. “Bila aku mendengar hujan turun di kawasan kaum Muslimn, aku merasa amat gembira.”

Abdullah ibn Abbas beristiqamah di dalam kebaktiannva. Beliau selalu berpuasa dan kerap berjaga malam untuk berihadah. Beliau selalu menangis ketika sedang solat dan membaca al-Qur’an. Dan apabila beliau membaca ayat-ayat yang menyentuh mengenai kematian, kiamat dan hari akhirat, suaranya menjadi berat kerana tangisan yang keras.

Beliau meninggal dunia ketika berusia tujuh puluh satu di kota Taif pada tahun 68 Hijrah, Jenazahnya disembahyangkan oleh Muhammad bin Hanafiah bin Ali bin Abi Talib. Ada riwayat yang berpendapat bahawa beliau wafat ketika berusia 85 tahun.

Zaenal Ariefien, Kairo,Awal musim panas 2008

"Jangan lupakan angka 11"







Biografi Singkat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Pengarang Kitab "Iqtidha' shiratal Mustaqim"





Nasab Beliau

Beliau adalah Syaikhul Islam Al Imam Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Al Khadr bin Muhammad bin Al Khadr bin Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al Harani Ad Dimasyqi. Nama Kunyah beliau adalah Abul 'Abbas.

Kelahiran dan Pertumbuhan Beliau

Beliau lahir pada tanggal 12 Rabi'ul Awwal 661 Hijriah di Haran. Ketika berumur 7 tahun, beliau berpindah ke Damaskus bersama ayahnya dalam rangka melarikan diri dari pasukan Tartar yang memerangi kaum muslimin. Beliau tumbuh di keluarga yang penuh ilmu, fikih, dan agama. Buktinya adalah banyak dari ayah, kakek, saudara, dan banyak dari paman beliau adalah ulama yang terkenal. Di antaranya adalah kakek beliau yang jauh (kakek nomor 4), yaitu Muhammad bin Al Khadr, juga Abdul Halim bin Muhammad bin Taimiyyah dan Abdul Ghani bin Muhammad bin Taimiyyah. Juga kakek beliau yang pertama, yaitu Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyyah Majdud Diin -nama kunyahnya adalah Abul Barakaat-, memiliki beberapa tulisan di antaranya: Al Muntaqa min Al Ahadits Al Ahkam (kitab ini disyarah oleh Imam Syaukani dengan judul Nailul Author, pent), Al Muharrar dalam bidang fiqih, Al Muswaddah dalam bidang Ushul Fiqh, dan lainnya. Begitu juga dengan ayah beliau, Abdul Halim bin Abdus Salam Al Harani dan saudaranya, Abdurrahman dan lain-lain.

Di lingkungan ilmiah dan sholihah ini, beliau tumbuh. Beliau memulai menuntut ilmu pertama kali pada ayahnya dan juga pada ulama-ulama Damaskus. Beliau telah menghafalkan Al Quran sejak kecil. Beliau juga telah mempelajari hadits, fikih, ilmu ushul, dan tafsir. Beliau dikenal sebagai orang yang cerdas, memiliki hafalan yang kuat dan memiliki kecerdasan sejak kecil. Kemudian beliau intensif mempelajari ilmu dan mendalaminya. Sehingga terkumpul dalam diri beliau syarat-syarat mujtahid ketika masa mudanya. Maka tidak lama kemudian beliau menjadi seorang imam yang diakui oleh ulama-ulama besar dengan ilmu, kelebihan, dan keimamannya dalam agama, sebelum beliau berusia 30 tahun.

Karya Ilmiah Beliau

Dalam bidang penulisan buku dan karya ilmiah, beliau telah meninggalkan bagi umat Islam warisan yang besar dan bernilai. Tidak henti-hentinya para ulama dan para peneliti mengambil manfaat dari tulisan beliau. Sampai sekarang ini telah terkumpul berjilid-jilid buku, risalah (buku kecil), Fatawa dan berbagai Masa'il (pembahasan suatu masalah) dari beliau dan ini yang sudah dicetak. Sedangkan yang tersisa dari karya beliau yang masih belum diketahui atau tersimpan dalam bentuk manuskrip masih banyak sekali.

Beliau tidaklah membiarkan satu bidang ilmu dan pengetahuan yang bermanfaat bagi umat dan mengabdi pada umat, kecuali beliau menulisnya dan berperan serta di dalamnya dengan penuh kesungguhan dan ketelitian. Hal seperti ini jarang sekali ditemui kecuali pada orang-orang yang jenius dan orang yang jenius adalah orang yang sangat langka dalam sejarah.

Teman dekat, guru, murid beliau bahkan musuh beliau, telah mengakui keluasan penelaahan dan ilmu beliau. Buktinya jika beliau berbicara tentang suatu ilmu atau cabang ilmu, maka orang yang mendengar menyangka bahwa beliau tidak mumpuni pada ilmu lain. Hal ini dikarenakan ketelitian dan pendalaman beliau terhadap ilmu tersebut. Jika seseorang meneliti tulisan dan karya beliau dan mengetahui amal beliau berupa jihad dengan menggunakan tangan dan lisan, dan pembelaan terhadap Islam serta mengetahui tentang ibadah dan zikir beliau, maka sungguh dia akan sangat terkagum-kagum dengan keberkahan waktu dan kuatnya kesabaran beliau. Maha Suci Allah yang telah mengaruniakan pada beliau berbagai karunia tersebut.

Jihad dan Pembelaan Beliau untuk Islam

Banyak orang tidak mengetahui sisi amaliah dari kehidupan beliau. Banyak orang hanya mengenal beliau sebagai ulama, penulis, dan ahli fatwa melalui karya beliau yang tersebar. Padahal beliau memiliki sikap-sikap yang diakui dalam berbagai bidang yang lain, yang beliau ikut berperan serta dalam menolong dan memuliakan kaum muslimin. Di antaranya: beliau berjihad dengan pedang dan menyemangati kaum muslimin untuk berperang, baik dengan perkataan dan perbuatan beliau. Beliau berputar-putar dengan pedangnya di medan pertempuran dengan menunggang kuda dengan sangat lihai dan berani. Orang-orang yang menyaksikan beliau dalam peperangan penaklukan kota 'Ukaa, terkagum-kagum dengan keberaniannya dan serangannya terhadap musuh.

Adapun jihad beliau dengan pena dan lisan. Maka beliau rahimahullah telah berdiri di depan musuh-musuh Islam dari penganut berbagai agama, aliran, isme yang batil, dan ahlul bid'ah bagaikan gunung yang kokoh. Kadang dengan perdebatan langsung, terkadang pula melalui tulisan. Beliau menghancurkan syubhat-syubhat (racun pemikiran) mereka dan mengembalikan tipu daya mereka -bihamdillah-. Beliau menghadapi ahli filsafat, bathiniyyah baik dari golongan sufiyyah, isma'iliyyah, nashiriyyah, dan selain mereka. Sebagaimana beliau juga menghadapi rafidhah dan golongan yang sesat (atheis). Beliau hancurkan syubhat-syubhat ahlul bid'ah yang diadakan di sekeliling masyahid (kuburan yang ramai untuk diziarahi), kuburan secara umum, dan semacamnya. Sebagaimana beliau menghadapi jahmiyyah, mu'tazilah, dan beliau membantah ahlul kalam dan asya'iroh.

Orang yang melihat sisi ini dari kehidupan beliau hampir-hampir menegaskan tidak ada lagi waktu yang sia-sia yang tersisa dalam kehidupan beliau. Beliau diperangi, diusir, disakiti, dan dipenjara berkali-kali di jalan Allah. Bahkan tatkala menghadapi ajal, beliau berada di penjara Al Qol'ah, di Damaskus.

Tak ada henti-hentinya -bihamdillah- bantahan beliau selalu menjadi senjata yang ampuh untuk menghadapi musuh kebenaran dan orang yang menyimpang. Karena bantahan beliau ini selalu disandarkan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serta petunjuk salafush shalih, dengan kuatnya istinbath (penyimpulan hukum), pendalilan yang sangat bagus, alasan (argumen) secara syar'i dan akal, dan luasnya ilmu beliau yang telah Allah karuniai.

Banyak dari paham yang merusak yang laris manis pada hari ini di tengah-tengah kaum muslimin merupakan perpanjangan tangan dari firqah-firqah dan isme-isme (pemahaman-pemahaman) yang beliau hadapi dan semisalnya pula dihadapi oleh pendahulu kita yang shalih. Oleh karena itu, semestinya para da'i yang ingin memperbaiki umat jangan sampai lalai dari sisi ini. Seharusnya mereka mengambil faedah dari bantahan-bantahan yang terlebih dahulu dibuat oleh para pendahulu mereka yang shalih.

Tidaklah aku (Syaikh Nashir Al Aql, pent) berlebih-lebihan dengan yang akan aku katakan. Bahwasanya tak henti-hentinya kitab-kitab dan bantahan-bantahan beliau adalah senjata yang paling kuat untuk menghadapi firqah-firqah sesat dan isme-isme yang merusak ini, yang laris manis yang mulai muncul lagi pada hari ini. Firqah dan isme ini merupakan perpanjangan dari masa lalu. Akan tetapi di antara firqah-firqah itu ada yang berbaju dengan baju modern dan hanya merubah nama mereka saja. Misalnya Ba'tsiyyah (sebuah aliran sosialis/sekuler, pent), Isytiraqiyyah (sosialisme), nasionalisme, Qadianiah (Ahmadiah), Baha'iyyah (aliran sesat di India) dan firqah-firqah yang lain. Ada pula yang masih tetap dengan slogannya yang dulu seperti Syi'ah, Rafidhah, Nashiriyyah, Isma'iliyyah, Khowarij dan lain-lain.

Sifat-Sifat Beliau

Di samping aspek ilmu, pemahaman agama, dan amar ma'ruf nahi mungkar (memerintahkan yang baik dan melarang dari kemungkaran) yang terkenal dari beliau, sungguh Allah telah mengaruniai beliau sifat yang terpuji yang sudah dikenali dan diakui oleh banyak orang. Beliau adalah orang yang dermawan dan mulia, selalu mengutamakan orang-orang yang membutuhkan melebihi dari diri beliau sendiri, baik dalam hal makanan, pakaian, dan selainnya. Beliau adalah orang yang sering beribadah dan membaca Al Quran. Beliau adalah orang yang wara' dan zuhud, hampir-hampir beliau tidak memiliki sesuatu pun dari kesenangan dunia, kecuali yang merupakan kebutuhan pokok (primer) dan sifat seperti ini sudah diketahui oleh orang-orang pada zamannya, sampai-sampai orang awam pun mengetahuinya. Beliau juga orang yang tawadhu' dalam penampilan, pakaian, dan interaksi beliau dengan orang lain. Beliau tidak pernah memakai pakaian yang mewah atau pun jelek (beliau selalu berpakaian yang tengah-tengah, tidak mewah dan tidak jelek pen). Beliau tidaklah memaksa-maksakan diri (berbasa-basi) terhadap orang yang beliau temui. Beliau terkenal sebagai orang yang karismatik dan keras dalam membela kebenaran. Beliau memiliki karisma yang luar biasa di depan penguasa, ulama, dan orang awam. Setiap orang yang melihat beliau, akan langsung mencintai, segan, dan menghormati beliau, kecuali ahlil bid'ah yang diliputi rasa dengki.

Sebagaimana beliau terkenal sebagai orang yang sangat sabar di jalan Allah, beliau juga memiliki firasat yang kuat dan memiliki doa yang mustajab. Beliau juga memiliki karomah lain yang diakui. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas dan menempatkannya di surga-Nya.

Masa Beliau

Sungguh beliau -rahimahullah- telah hidup di suatu masa yang terdapat banyak bid'ah dan kesesatan. Banyak isme-isme yang batil berkuasa. Semakin bertambah pula syubhat (racun pemikiran). Kebodohan, ta'ashub (fanatik) dan taqlid buta (mengikuti seseorang tanpa dalil) semakin tersebar. Pada saat itu pula, kaum muslimin diperangi oleh pasukan Tartar dan pasukan Salib (dari orang-orang Eropa).

Kita akan mendapati potret masa beliau dengan jelas dan gamblang melalui buku-buku beliau yang ada di hadapan kita. Karena beliau sangat perhatian dengan urusan kaum muslimin. Beliau juga berperan serta menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan pena, lisan dan tangannya. Barang siapa yang memperhatikan tulisan-tulisan beliau, maka akan mendapati gambaran bentuk ini pada masa beliau:

  1. Semakin banyaknya bid'ah dan syirik, lebih-lebih kesyirikan yang terdapat di sekitar masyahid dan kuburan yang diziarahi dan palsu. Juga i'tiqod (keyakinan) yang batil terhadap orang yang hidup dan yang mati. Mereka diyakini dapat memberi manfaat dan dapat memberi kesusahan. Maka mereka diseru/didoai sebagai sesembahan selain Allah.
  2. Tersebarnya filsafat, penyimpangan, dan perdebatan.
  3. Tasawuf dan tarekat-tarekat sufi yang sesat menguasai orang-orang awam. Tersebar pula di sana isme-isme dan pemikiran bathiniyyah.
  4. Rafidhah semakin berperan dalam urusan kaum muslimin. Mereka menyebarkan bid'ah dan kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin. Mereka mengendurkan semangat umat untuk berjihad. Bahkan mereka membantu pasukan Tartar yang merupakan musuh kaum muslimin.
  5. Pada akhirnya, kita lihat semakin kuatnya Ahlusunnah wal Jamaah dengan sebab beliau. Beliau memotivasi dan memberikan semangat kepada Ahlusunnah. Hal ini memiliki pengaruh yang bagus bagi kaum muslimin hingga saat ini dalam menghadapi bid'ah dan kemungkaran, amar ma'ruf nahi munkar, menasihati pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin secara umum.

Syaikhul Islam di zamannya tegar dalam menghadapi penyimpangan-penyimpangan ini dengan sikap yang telah diakui. Beliau memerintahkan, melarang, menasihati, menjelaskan sehingga Allah memperbaiki banyak keadaan kaum muslimin dengan tangan beliau. Allah telah menolong Sunnah dan Ahlusunnah melalui beliau, -walhamdulillah-.

Wafat Beliau

Sesungguhnya di antara tanda kebaikan orang shalih dan diterimanya dia di tengah-tengah kaum muslimin adalah: orang-orang merasa kehilangannya tatkala dia meninggal dunia. Oleh karena itu, para salaf menilai banyaknya orang yang menyalati merupakan tanda kebaikan dan diterimanya orang tersebut. Oleh karena itu, Imam Ahmad -rahimahullah- mengatakan: “Katakan pada Ahlul Bid'ah, perbedaan antara kami dan kalian adalah pada hari kematian”, yaitu orang-orang akan merasakan kehilangan Imam Ahlusunnah, apabila imam itu meninggal akan terlihat banyaknya orang yang mengiringi jenazahnya ke pemakaman. Sungguh realita telah menunjukkan hal itu. Belum ada yang pernah terdengar seperti kematian dua imam (yang sama-sama bernama Ahmad, pent) yaitu Imam Ahmad bin Hambal dan Ahmad bin Taimiyyah ketika keduanya meninggal. Begitu banyak orang yang mengiringi ke pemakaman dan keluar bersama jenazah keduanya serta menyalati keduanya. Ini bukanlah suatu yang aneh karena kaum muslimin adalah saksi Allah di bumi ini.

Demikianlah Syaikhul Islam -rahimahullah- wafat, dalam keadaan beliau terpenjara di penjara Al Qol'ah, Damaskus, pada malam Senin, 20 Dzulqo'dah 728 Hijriyah. Seluruh penduduk Damaskus dan sekitarnya merayap untuk menyalati dan mengiringi jenazah beliau ke pemakaman. Berbagai referensi yang menyebutkan kematian beliau sepakat bahwa yang menghadiri pemakaman beliau adalah jumlah yang sangat besar sekali yang tidak bisa dibayangkan jumlahnya.

Semoga Allah merahmati dan memberi balasan dengan kebaikan yang banyak atas jasa beliau terhadap Islam dan kaum muslimin.

Sumber penulisan biografi ini:

  1. Al I'lam, Khoiruddin Az Zarkali. (1/144)
  2. Al A'laam Al 'Aliyyah fii Manaqib Ibnu Taimiyyah, Al Hafidz Umar Al Bazzar, ditahqiq oleh Asy Syawisy.
  3. Al Bidayatu wan Nihayah, Ibnu Katsir. (135-139/14)
  4. Syadzarotudz Dzahab, Ibnul 'Ammaad. (80-86/6)
  5. Fawatul Wifayaat, Muhammad Ibnu Syakir Al Kutubi. (74-80/1)
  6. Kitabudz Dzail 'ala Thobaqotil Hanabilah, Abul Faroj Abdurrahman bin Ahmad Al Baghdadi. (387 - 408)
  7. Manaqib Al Imam Ahmad bin Hambal. Ibnul Jauzi, ditahqiq oleh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki.

Alhamdu lillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat

(Zaenal Ariefien Email: uniek87@yahoo.co.id/yue_za@mig33.com/Maktabah Darul Aqidah Email: dar_alakida@yahoo.com)



Kamis, 13 Maret 2008

yesterday is gone





Semuanya seperti mimpi

Datang mencair lalu pergi, entah kemana…??

Giza , Pertengahan Musim Dingin 2008

Rabu, 12 Maret 2008

info "DARUL AQIDAH"


Judul Buku :Tentang Penyimpangan-penyimpangan Ahli Kitab dan Perilaku Kaum Kafir yang Menimpa Sebagian Kaum Muslimin(Karangan Syeikh Islam Ibnu Taimiyah di Terjemahkan dan diterbitkan oleh: Pustaka Al Kautsar)

Kitab aslinya diterbitkan oleh Darul Aqidah denagan judul Iqthida' Shiratal Mustaqim Tahqiqan Sholah sa'id. Harga 14 Le.
(Darul Aqidah Printing Publication & Distribution / Zaenal Ariefien :0161574706/ Cairo: Darbul Atrak 3 behind Al-Azhar university Telp 25143174. Alexandria: street El Fath 101 Baqus Telp 5747321 Fax 5747076 E_mail dar_alakida@yahoo.com)


Sekilas tentang "Iqtidha Shiratal Mustaqim" Karangan : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Saya di sini akan menghisyaratkan pada perilaku menyimpang Ahli Kitab dan orang-orang kafir lainnya, yang dewasa ini telah banyak menimpa umat ini. Saya maksudkan, agar kaum muslimin menghindari penuimpangan ini dan senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus. Serta agar mereka tidak meniti jalan-jalan orang yang Allah murkai dan tidak pula jalan orang-orang sesat.


Penyimpangan Yahudi

Pertama: Mendengki orang lain yang mendapatkan ilmu dan hidayah.

Allah berfirman:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ


“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran” (QS Al Baqarah : 109)

Allah mencela kaum Yahudi karena kedengkian mereka atas ilmu dan hidayah yang terdapat pada kaum muslimin.

Sebagian orang yang memiliki ilmu, sering juga terjebak dalam kedengkian terhadap orang-orang yang telah Allah karuniai hidayah dan ilmu yang bermanfaat ataupun amal shaleh. Tak ayal, pelaku demikian adalah pelaku tercela secara mutlak. Demikian halnya, perilaku demikian adalah perilaku orang-orang yang Allah murkai (
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ) .

Kedua: Kikir terhadap ilmu yang dimiliki.

Allah juga berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ


“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.” (QS An-Nisa : 37-38)

Mereka Allah sifati dengan kekikiran. Yakni kekikiran ilmu dan harta yang mereka miliki. Walaupun dalam konteks ayat di atas, kekikikran dalam ilmu adalah yang dimaksudkan. Sebagaimana Allah juga mensifati bahwa mereka adalah orang-orang yang menyembunyikanilmu di dalam ayat yang lain. Sebagaimana firman Allah:

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ


“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.” (QS Al-Imran : 187)

Allah mensifati orang-orang yang dimurkai dengan sifat menyembunyikan ilmu, yang terkadang dilatarbelakangi kekikiran atas ilmu yang dimiliki, terkadang dilatari motif kepentingan materi, dimana mereka baru menampakkan ilmunya ketika ada imbalan materi, terkadang pula disebabkan kecemasan mereka bila ilmu mereka ditampilkan, akan menjadi senjata makan tuan.

Dan perilaku demikian yang acapkali menimpa orang-orang yang memiliki ilmu. Dimana mereka terkadang menyembunykan ilmu karena bakhil, atau karena enggan orang lain meraih keutamaan –sebagaimana yang mereka dapatkan- disebabkan ilmunya, atau mengharapkan ilmunya ditukar dengan jabatan maupun harta dunia. Jadilah mereka menutup-nutupi ilmunya, dikhawatirkan jabatan atau hartanya berkurang. Kadang pula ilmu itu disembunyikan, disebabkan akan menjadi boomerang bagi mereka karena ada pihak-pihak lain yang akan menjadikan itlmu itu sebagai senjata untuk mereka.

Oleh sebab itulah Abdur Rahman bin Mahdi dan yang lainnya berkata: “Ahlul ilmi (orang-orang berilmu) akan menulis apa yang menguntungkan dan mungkin merugikan mereka. Sedangkan ahlul ahwa (orang-orang yang mengikuti hawa nafsu), hanya akan menuliskan apa yang menjadi kepentingan dirinya.”

Ketiga: Menolak kebenaran yang datang yang dulu diminta-minta disebabkan bukan dari pihaknya.

Allah berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ


“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada Al Qur'an yang diturunkan Allah", mereka berkata: "Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami". Dan mereka kafir kepada Al Qur'an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur'an itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka.” (QS al-Baqarah : 92)

Setelah pada ayat sebelumnya Allah berfirman:

وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ


“...padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (QA Al-Baqarah : 89)

Dalam ayat ini Allah mensifati kaum Yahudi bahwasanya mereka telah mengetahui kebenaran sebelum adanya orang yang mengatakan kebenaran dan mengajaknya kepada kebenaran itu. Tatkala orang yang emngatakan kebenaran itu datang, dan ternyata bukan dari kelompok mereka, mereka tidak mau mengikutinya. Mereka tidak mau menerima kebenaran, kecuali dari keompok mereka. Sebagian mereka tidak mengikuti kebenaran yang bertolak belakang dengan keyakinan merka.

Hal ini juga banyak menimpa berbagai kalangan yang meyatakan dirinya bersandar pada ilmu tertentu, atau cara beragama tertentu, baik dari kalangan fikh, atau kalangan tasawuf [1] dan yang lainnya. [2]
Atau menimpa pula orang-orang yang membesarkan seorang pemimpin agama yang ada di kalangan mereka –selain Rasulullah tentunya- dimana mereka tidak menerima agama, baik secara rasio ataupun riwayat kecuali yang datang dari kalangan mereka sendiri. Padahal agama Islam mewajibkan mengikuti kebenaran secara mutlak, baik lewat pendekatan riwayat maupun akal, tanpa menetapkan individu manapun kelompok terntentu –selain Rasulullah sallallahu alaihi wasallam-

Keempat: Mengubah Kalamullah dan hukum-Nya.

Allah berfirman saat mensifati orang-orang yang dimurkai itu dengan friman-Nya:

مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ


“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya.” (QS An-Nisa L 46)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ


“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab.” (QS Al-Imran : 78)

Tahrif (perubahan) dalam ayat di atas ditafsirkan dalam dua hal. Pertama tahrif tanzil dan yang kedua tahrif ta’wil.

Tahrif tanzil adalah perubahan dalam bentuk mengubah lafazh-lafazh sabda Rasul, meriwayatkan hadits dengan riwayat-riwayat munkar. Dan hal ini banyak terjadi di kalangan umat, kendati banyak pakar yang menentangnya dan membela keabsahan sabda Rasul.

Tahrif ta’wil adalah perubahan dalam bentuk penakwilan. Hal ini sangat banyak jumlahnya, dan beberapa kelompok umat ini telah pula dilanda hal semcam itu. Lisan-lisan mereka begitu congkaknya, dengan mengemukakan hal-hal yang dianggapnya dari Allah, padahal bukan . Seperti yang dilakukan para pemalsu hadits yang merka nisbatkan pada Rasulullah. Atau itu merupakan apa yang dianggap hujjah dari agama padahal bukan.

Semua perilaku di atas adalah bagian dari perilaku kaum Yahudi. Apa yang mereka lakukan sangat dikecam oleh orang-orang yang mempelajari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah dengan cara yang mendalam. Kemudian mereka melihat dengan mata keimaman mereka terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka.



Penyimpangan Kaum Nasrani


Pertama: Berlebihan dalam berkeyakinan dan praktek beragama.

Allah berfirman mengenai kaum Nasrani:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ


“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam,.” (QS An-Nisa : 171)

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ


“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam" (Qs Al-Maidah : 72)

Dan ayat-ayat lainnya dengan topic yang berbeda.

Kemudian tindakan berlebih-lebihan terhadap para nabi dan rasul serta orang-orang saleh menimpa orang-orang yang ahli ibadan dan golongan pengikut tasawuf [3]. Sampai- sampai membuat sebagian mereka terperosok ke dalam madzhab hulul (keyakinan yang menyatakan bahwasanya Allah merasuk pada satu orang yang berinkarnasi –penj.), dan madzhab ittihad (keyakinan bahwa makhluk bisa bersatu dengan Allah atau yang dikenal dengan pantheisme, penj.). Tentu saja ini lebih jelek dari keyakinan kaum Kristen, atau mungkin sama atau sedikit di bawah mereka.

Kedua: Menuhankan para rahib dan orang-orang saleh, yaitu dengan mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.

Allah berfirman:

Judul Buku :Tentang Penyimpangan-penyimpangan Ahli Kitab dan Perilaku Kaum Kafir yang Menimpa Sebagian Kaum kaum muslimin.

Kitab aslinya diterbitkan oleh Darul Aqidah denagan judul Iqthida' Shiratal Mustaqim Tahqiqan Sholah sa'id. Harga 14 Le.
(Darul Aqidah Printing Publication & Distribution / Zaenal Ariefien :0161574706/ Cairo: Darbul Atrak 3 behind Al-Azhar university Telp 25143174. Alexandria: street El Fath 101 Baqus Telp 5747321 Fax 5747076 E_mail dar_alakida@yahoo.com)


Sekilas tentang "Iqtidha Shiratal Mustaqim" Karangan : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Saya di sini akan menghisyaratkan pada perilaku menyimpang Ahli Kitab dan orang-orang kafir lainnya, yang dewasa ini telah banyak menimpa umat ini. Saya maksudkan, agar kaum muslimin menghindari penuimpangan ini dan senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus. Serta agar mereka tidak meniti jalan-jalan orang yang Allah murkai dan tidak pula jalan orang-orang sesat.


Penyimpangan Yahudi

Pertama: Mendengki orang lain yang mendapatkan ilmu dan hidayah.

Allah berfirman:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ


“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran” (QS Al Baqarah : 109)

Allah mencela kaum Yahudi karena kedengkian mereka atas ilmu dan hidayah yang terdapat pada kaum muslimin.

Sebagian orang yang memiliki ilmu, sering juga terjebak dalam kedengkian terhadap orang-orang yang telah Allah karuniai hidayah dan ilmu yang bermanfaat ataupun amal shaleh. Tak ayal, pelaku demikian adalah pelaku tercela secara mutlak. Demikian halnya, perilaku demikian adalah perilaku orang-orang yang Allah murkai (
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ) .

Kedua: Kikir terhadap ilmu yang dimiliki.

Allah juga berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ


“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.” (QS An-Nisa : 37-38)

Mereka Allah sifati dengan kekikiran. Yakni kekikiran ilmu dan harta yang mereka miliki. Walaupun dalam konteks ayat di atas, kekikikran dalam ilmu adalah yang dimaksudkan. Sebagaimana Allah juga mensifati bahwa mereka adalah orang-orang yang menyembunyikanilmu di dalam ayat yang lain. Sebagaimana firman Allah:

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ


“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.” (QS Al-Imran : 187)

Allah mensifati orang-orang yang dimurkai dengan sifat menyembunyikan ilmu, yang terkadang dilatarbelakangi kekikiran atas ilmu yang dimiliki, terkadang dilatari motif kepentingan materi, dimana mereka baru menampakkan ilmunya ketika ada imbalan materi, terkadang pula disebabkan kecemasan mereka bila ilmu mereka ditampilkan, akan menjadi senjata makan tuan.

Dan perilaku demikian yang acapkali menimpa orang-orang yang memiliki ilmu. Dimana mereka terkadang menyembunykan ilmu karena bakhil, atau karena enggan orang lain meraih keutamaan –sebagaimana yang mereka dapatkan- disebabkan ilmunya, atau mengharapkan ilmunya ditukar dengan jabatan maupun harta dunia. Jadilah mereka menutup-nutupi ilmunya, dikhawatirkan jabatan atau hartanya berkurang. Kadang pula ilmu itu disembunyikan, disebabkan akan menjadi boomerang bagi mereka karena ada pihak-pihak lain yang akan menjadikan itlmu itu sebagai senjata untuk mereka.

Oleh sebab itulah Abdur Rahman bin Mahdi dan yang lainnya berkata: “Ahlul ilmi (orang-orang berilmu) akan menulis apa yang menguntungkan dan mungkin merugikan mereka. Sedangkan ahlul ahwa (orang-orang yang mengikuti hawa nafsu), hanya akan menuliskan apa yang menjadi kepentingan dirinya.”

Ketiga: Menolak kebenaran yang datang yang dulu diminta-minta disebabkan bukan dari pihaknya.

Allah berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ


“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada Al Qur'an yang diturunkan Allah", mereka berkata: "Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami". Dan mereka kafir kepada Al Qur'an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur'an itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka.” (QS al-Baqarah : 92)

Setelah pada ayat sebelumnya Allah berfirman:

وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ


“...padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (QA Al-Baqarah : 89)

Dalam ayat ini Allah mensifati kaum Yahudi bahwasanya mereka telah mengetahui kebenaran sebelum adanya orang yang mengatakan kebenaran dan mengajaknya kepada kebenaran itu. Tatkala orang yang emngatakan kebenaran itu datang, dan ternyata bukan dari kelompok mereka, mereka tidak mau mengikutinya. Mereka tidak mau menerima kebenaran, kecuali dari keompok mereka. Sebagian mereka tidak mengikuti kebenaran yang bertolak belakang dengan keyakinan merka.

Hal ini juga banyak menimpa berbagai kalangan yang meyatakan dirinya bersandar pada ilmu tertentu, atau cara beragama tertentu, baik dari kalangan fikh, atau kalangan tasawuf [1] dan yang lainnya. [2]
Atau menimpa pula orang-orang yang membesarkan seorang pemimpin agama yang ada di kalangan mereka –selain Rasulullah tentunya- dimana mereka tidak menerima agama, baik secara rasio ataupun riwayat kecuali yang datang dari kalangan mereka sendiri. Padahal agama Islam mewajibkan mengikuti kebenaran secara mutlak, baik lewat pendekatan riwayat maupun akal, tanpa menetapkan individu manapun kelompok terntentu –selain Rasulullah sallallahu alaihi wasallam-

Keempat: Mengubah Kalamullah dan hukum-Nya.

Allah berfirman saat mensifati orang-orang yang dimurkai itu dengan friman-Nya:

مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ


“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya.” (QS An-Nisa L 46)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ


“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab.” (QS Al-Imran : 78)

Tahrif (perubahan) dalam ayat di atas ditafsirkan dalam dua hal. Pertama tahrif tanzil dan yang kedua tahrif ta’wil.

Tahrif tanzil adalah perubahan dalam bentuk mengubah lafazh-lafazh sabda Rasul, meriwayatkan hadits dengan riwayat-riwayat munkar. Dan hal ini banyak terjadi di kalangan umat, kendati banyak pakar yang menentangnya dan membela keabsahan sabda Rasul.

Tahrif ta’wil adalah perubahan dalam bentuk penakwilan. Hal ini sangat banyak jumlahnya, dan beberapa kelompok umat ini telah pula dilanda hal semcam itu. Lisan-lisan mereka begitu congkaknya, dengan mengemukakan hal-hal yang dianggapnya dari Allah, padahal bukan . Seperti yang dilakukan para pemalsu hadits yang merka nisbatkan pada Rasulullah. Atau itu merupakan apa yang dianggap hujjah dari agama padahal bukan.

Semua perilaku di atas adalah bagian dari perilaku kaum Yahudi. Apa yang mereka lakukan sangat dikecam oleh orang-orang yang mempelajari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah dengan cara yang mendalam. Kemudian mereka melihat dengan mata keimaman mereka terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka.



Penyimpangan Kaum Nasrani


Pertama: Berlebihan dalam berkeyakinan dan praktek beragama.

Allah berfirman mengenai kaum Nasrani:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ


“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam,.” (QS An-Nisa : 171)

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ


“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam" (Qs Al-Maidah : 72)

Dan ayat-ayat lainnya dengan topic yang berbeda.

Kemudian tindakan berlebih-lebihan terhadap para nabi dan rasul serta orang-orang saleh menimpa orang-orang yang ahli ibadan dan golongan pengikut tasawuf [3]. Sampai- sampai membuat sebagian mereka terperosok ke dalam madzhab hulul (keyakinan yang menyatakan bahwasanya Allah merasuk pada satu orang yang berinkarnasi –penj.), dan madzhab ittihad (keyakinan bahwa makhluk bisa bersatu dengan Allah atau yang dikenal dengan pantheisme, penj.). Tentu saja ini lebih jelek dari keyakinan kaum Kristen, atau mungkin sama atau sedikit di bawah mereka.

Kedua: Menuhankan para rahib dan orang-orang saleh, yaitu dengan mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.

Allah berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ


“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam.” (QS At-Taubah : 31).

Rasulullah menafsirkan ayat ini pada Adi bin Hatim bahwa maksud dari ayat ini adalah:

أَحَلَّوْا لَهُم الْحَرَامَ فَأَطَاعُهُمْ وَحَرَّمُوْا عَلَيْهِمُ الْحَلاَلَ فَاتَّبَعُوْهُمْ (رواه الترمذى)


“Mereka (orang-orang alim dan rahib) menghalalkan yang haram atas mereka, lalu mereka menaati apa yang dikatakan oleh rahib-rahib itu dan mengharamkan yang halal atas mereka dan mereka mengikuti apa yang mereka katakan.” [4]

Dan tak sedikit pula para pengikut ahli-ahli ibadah yang menaati titah orang besar dan dihormati tersebut, kendati titahnya mengandung penghalalan yang haram ataupun pengharaman yang halal.

Ketiga: Praktik kependetaan

Ala Ta’ala berfirman:

وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ


“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridaan Allah,” (QS Al-Hadid : 27)

Sebagian kelompok kaum muslimin juga telah ditimpa musibah ini, dari orang-orang yang melakukan perilaku kependetaan (rahbaniyyah) yang Allah ketahui siapa mereka itu.

Keempat: Membangun tempat ibadah di kuburan para nabi danorang-orang saleh.

Allah berfirman:

قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا


“Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya". (QS Al-Kahfi : 21)

Orang-orang yang sesat dan orang-orang yang Allah murkai membangun tempat-tempat peribadatan mereka di atas kuburan para nabi dan orang-orang saleh. Rasulullah sendiri dalam banyak hadits, melarang hal yang sama. Dan ternyata memang banyak di antara umat ini yang ditimpa musibah semacam ini.

Kemudian kita temukan bahwa kebanyakan bentuk dan cara beragama orang-orang sesat, dilakukan dengan suara-suara yang berdentuman dan gambar-gambar yang indah. Tidak banyak ajaran yang mereka urusi selain memperindah kemerduan suara mereka.

Kita juga menemukan, sebagian umat ini yang menjadikan lantunan-lantunan nyanuian dan kasidah-kasidah [5] dijadikan sebagai cara dalam rangka membenahi ruhani. Suatu perilaku yang banyak memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sesat (Kristen).

Kelima: Membanggakan diri dan menafikan orang lain

Allah berfirman:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ


“Dan orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," (QS Al-Baqarah : 113)

Allah mengabarkan dalam ayat ini bahwa kedua golongan ini saling mengingkari eksistensi dan keberadaan masing-masing.

Kita melihat sebagian ahli fikih tatkala melihat pengikut tasawuf dan orang-raong yang hanya menumpukan diri pada ibadah, ahli fikih tersebut melihat para pelaku tasawud sebagai makhluk-makhluk yang tidak memiliki nilai apa-apa. Orang-orang itu mereka anggap sebagai orang yang sesat dan bodoh. Semua amalan yang mereka lakukan dianggap tidak memiliki landasan ilmu dan tidak mengambil dari petunjuk Rasulullah. Sebaliknya dengan para pelaku tasawuf dan muftariqah [6] kita lihat kebanyakan mereka menganggap ilmu dan syariat sebagai sesuatu yang sangat tidak berharga. Bahkan lebih jauh dari itu mereka melihat bahwa orang-orang yang berpegang teguh dengan syariat adalah orang-orang yang putus hubungannya dengan Allah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya tidak akan bisa mengambil manfaat apa-apa dari apa yang mereka lakukan.



__________________________
Catatan kaki:
[1] Al-Mutushawwifah adalah para pengikut tarekat sufi, baik tokoh maupun pengikut. Praktik tasawuf dalam formatnya yang sering dipraktekkan pengikut tarekat hingga kini, merupakan manhaj yang jauh dari Islam. Ia adalah cara beragama yang sama sekali tidak berasal dari Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah. Beguty pula tidak ada landasannya dari sahabat, tabi’in dan shalafushshaleh di masa Islam.

[2] Seperti para pengikut Mu’tazilah, Jabariyah, Khawarij, Syiah dan lain-lain, termasuk pula penganut isme-isme dan pengikut partai modern seperti Nasionalisme, Baats, Sosialisme dan Marxisme. Demikian pula para pengikut agama baru semacam Bahaniyyah, Qadariyyah dan lain-lain.
[3] Masih saja ada kalangan pelaku tasawuf yang menetapkan sesuatu pada syaikh dan guru mereka sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dinisbatkan, kecuali untuk Allah. Mereka berlaku syirik misalnya dengan menyatakan bahwa di ala mini ada yang disebut dengan aghwats yang selalu menyetir dan mengurusi alam ni serta mengurusi hal-hal ghaib. Ada juga yang mereka sebut dengan ahda’, aqhtab, dan autad. Buku-buku yang mereka tulis penuh dengan bahasan ini. Sungguh Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Untuk masalah ini lihat misalnya buku: Jami’ Karamat Al-Auliya (1/69-79), juga lihat tentang bahasan ini dalam buku pengarang buku ini Majmu’ Al-Fatawa (11/433-445)
[4] HR At-Tirmidzi nomor (3095), (5/278). Menurutnya derajat hadits ini gharib. Lihat juga tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari (10/80-81).
[5] Mungkin yang dimaksud mendnegar nyanyian sufi seperti yang berlaku pada aliran Rumi dengan cara menari melingkar sambil dinyanyikan lagu-lagu tertentu (penj.)
[6] Al-Muftariqah adalah kelompok darwisy kalangan sufi yang menampakkan diri seakan-akan sebagai orang yang fakir dengan tindakan yang dipaksa-paksakan. Mereka melakukan satu peribadatan tanpa didasari dengan ilmu pengetahuan. Kebanyakan mereka selalu mengedepankan uzlah dari keramaian dunia tau melakukan perjalanan yang tidak tentu maksud dan arahnya. Mereka menyepelekan ilmu-ilmu syariah dan mengaggapnya sebagai ilmu zahir yang tidak akan memberikan manfaat pada orang yang mengamalkannya… dan berbagai akidah dan keyakinan hati lainnya. Kita mohon pada Allah semoga kita terlindungi dari apa yang mereka lakukan. Untuk detailnya tentang pembahasan ini lihat buku Majmu’ Al-Fatawa karangan penulis buku ini pada jilid 11.


Disalin kembali dari ringkasan kitab Iqtidha Shiratal Mustaqim. (zaenal AriefienlDarul Aqidah Printing Publication & Distribution CAIRO: Darbul Atrak 3 behind Al-Azhar university Telp 25143174. ALEXANDRIA: street El Fath 101 Baqus Telp 5747321 Fax 5747076 E-mail dar_alakida@yahoo.com)