Jumat, 07 Maret 2008

Cerpen Za'

"jangan pernah percaya pada "Rembulan" sedikitpun karena rembulan setiap bulan berubah kadang Purnama,sabit dan esok malam atau lusa entah ........"









HAMPIR LEBARAN DI LANGIT

Oleh: Zaenal Ariefien

Aku tiba-tiba bertemu dengannya sosok yang sudah lama hilang dariku. Kami bertemu secara kebetulan di masjid Amru Bin Ash tepat malam terakhir ramadhan. Saat itu kami sama-sama tarawih diiringi alunan merdu ayat-ayat suci yang dibawakan Syekh jibril. Aku baru tahu kalau hampir setahun ini dia berada di langit. Namun tidak ada satu orangpun yang tahu kalau selama ini dia melalang buana di langit sana. Jangankan orang lain, orang tuanya sendiri serta orang-orang terdekatnya pun tidak tahu.

Apa saja yang kamu temui dan lakukan selama di langit sana, tanyaku penasaran. Dia malah tertawa terbahak-bahak. Aku menyangka dia sok bangga karena pernah terbang ke langit. Tapi tiba-tiba wajahnya berubah lesu. Aku menangkap ada kekecewaan dan penyesalan yang dalam terhadap dirinya sendiri yang ia bawa dari kerajaan langit sana. Entah, aku benar-benar tidak mengerti. Pelan-pelan ia mulai membuka pembicaraan meski dengan suara berat. Sepertinya memang banyak sekali kejadian-kejadian yang telah ia alami di langit sana. "Jadi kamu bertemu dengan Mars, pluto, merkurius, saturnus dan yang lain-lainnya?" Tanyaku lagi. "Iya, aku bertemu dengan semuanya, bahkan dengan sang bulan juga," jawabnya mantap. "Selama di langit aku berteman baik dengan mereka semua, mereka juga menerimaku dengan baik. Sungguh bagiku mereka semua adalah teman-teman yang baik, komunitas yang tidak akan kamu dapatkan di manapun di belahan bumi ini. Setahun ini kuhabiskan untuk berbagi cerita dan bertukar pengalaman dengan mereka. Dan yang perlu kamu tahu, penghuni langit sangat ramah, apalagi sang bulan, dia begitu ramah sekali padaku. Bagiku mereka adalah teman-teman terbaik yang banyak mengajarkan bagaimana kehidupan di langit sana. Mengajari tentang tata surya, bagaimana semua planet itu berputar mengitari matahari pada satu orbit yang sama. Meskipun demikian tidak ada satupun yang bertabrakan. Satu sama lain saling menjaga dan mengingatkan agar tetap eksis di poros masing-masing, di satu titik, yaitu matahari. Dan sekali lagi mereka akan tetap berputar bersama-sama. Tak ada satupun yang boleh bergeser dari orbit masing-masing. Apalagi jika akan ada yang menggangu atau melukai salah satu diantaranya." Sungguh sebuah komitmen yang luar biasa jika terus dipertahankan. Semoga saja komitmen itu tidak terkotori oleh ambisi-ambisi serta tendensi-tendensi palsu sampai kapanpun. Semoga saja, harapku. Dan ini menjadi sebuah pelajaran baru dan berharga bagiku.

Pertama kali aku datang ke langit banyak sekali kepedihan dan sejuta kisah yang mengharu biru jika harus diingat kembali. Aku benar-benar merasa asing. Tidak ada satupun yang kukenal. Aku adalah warna lain di antara sederetan warna yang sama. Saat itu aku langsung menghubungi Khalil Ghibran, sastrawan legendaris yang hidupnya banyak ia habiskan di pengasingan. "Aku bukan terasing tetapi mengasingkan diri, aku butuh sendiri dan tempat yang sepi untuk mendapatkan inspirasi-inspirasiku. Seandainya bukan karena keterasingan dan melodi sepi yang selalu menemaniku. Niscaya tidak akan tercipta satu puisipun olehku," jawabnya. Sama sekali tidak memuaskan. Kemudian aku tanyakan lagi kepada Sayyid Qutb perihal "sepi dan asing" ini. Ia tersenyum simpul. "Aku bukan terasing tetapi ada yang mencoba mengasingkanku. Tapi sebenarnya keterasingan lebih aku cintai, karena keterasinganku lahir Tafsir fii Dhilaalil Qur'an," jawabnya.

Dalam keterasinganku di langit sana aku mulai kenal dengan planet Mars. Sebuah planet aneh yang belum pernah aku temukan karakter itu sebelumnya di bumi sana. Obrolan ringanpun terjadi. Aku heran saat itu entah kenapa mars tidak seperti planet-planet yang lainnya. Ia terkesan aneh atau mungkin sedang diliputi masalah. Aku tidak mau banyak bertanya. Aku takut mencampuri urusan galaksi mereka, dan aku juga sadar tidak tahu banyak tentang urusan mereka. Sudahlah, bagiku persahabatan harus tetap dijalin dalam keadaan apapun. Aku selalu berusaha menjadi teman yang bisa membantu sekedarnya. Kuberitahu dia bahwa masalah yang dia jalani masih sangat sederhana dibanding permasalahan orang-orang di bumi sana. Ia tidak banyak peduli dan terus berjalan dengan keanehannya. Aku diamkan saja dengan terus dibayang-bayangi rasa bersalah karena tidak bisa membantu sahabat baruku Mars. Aku hanya bisa terus mendoakannya di setiap sujud-sujud panjangku.

Lama kelamaan aku mulai bisa beradaptasi hidup di langit sini. Bahkan aku mulai kenal akrab juga dengan bulan. "Apakah anda bulan?" Tanyaku sedikit heran saat pertama kali bertemu dengannya. "Kenapa? Nama yang aneh ya?" Jawabnya singkat. "Seandainya penduduk bumi tahu bahwa bulan tidak seramah yang mereka bayangkan," pikirku. Tapi aku tetap percaya kalau bulan sangat ramah. Benar saja, belum lama aku mengenalnya lembut sinarnya selalu mewarnai hari-hariku selama di langit sana. Perjalanan di langit semakin tampak indah. Ada komunikasi yang baik dengan semua komunitas langit. Ada banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dan tentunya ada sinar bulan yang selalu menjadikan suasana nyaman. Namun, di balik itu semua ada sesuatu yang mengganjal, ada dorongan fitrah dari hati nurani untuk segera meninggalkan langit dan kembali ke bumi.

Satu hari lagi lebaran tiba. Sebenarnya aku sangat ingin sekali menikmati lebaran bersama teman-teman baruku di langit sini. Tapi, sepertinya aku harus benar-benar kembali ke bumi. Aku langsung menemui bulan dan mengutarakan semua keinginanku. Dia hanya diam saja. Sungguh aku tidak bisa menangkap makna apapun dari ekspresi diamnya. Tapi lebih bisa aku pahami bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak ada permasalahan dengan kepergianku. Kerongkonganku tersendat. Ada sesuatu yang tidak sempat kusampaikan. Tapi biarlah, toh semuanya sudah selesai. Lagi pula bukankah ini perpisahan yang indah. Perpisahan yang "sejuk" tanpa harus ada gesekan tapi justru hati yang saling mengikhlaskan.

Tiba-tiba Mars mulai tidak ramah padaku. Entah karena apa aku sendiri tak tahu. Aku mencoba menanyakan pada si bungsu pluto planet yang paling kecil. Tapi sama saja sepi tanpa jawaban. "Kenapa semua ini harus terjadi saat menjelang lebaran yang penuh dengan limpahan kemaafan," batinku. Akhirnya aku beranikan untuk bertanya pada merkurius. Semoga kali ini aku menemukan jawabannya. Aku hanya ingin kembali ke bumi dengan tenang tanpa ada satupun beban. Akhirnya pembicaraan serius terjadi antara aku dan merkurius yang mengaku mewakili semua teman-temanya sesama penghuni langit. Beberapa pertanyaan dia lemparakan. Mulai dari masalah bulan, mars, pluto dan semua aktivitas yang aku jalani selama aku di langit. Aku jawab semuanya dengan kejujuran tanpa ada satupun yang aku sangkal. Meskipun dalam hal ini aku aku berhak menjelaskan beberapa hal yang sebenarnya. Tapi kuurungkan. Aku memilih diam. Lagi pula aku sadar, bahwa apapun alasannya, kedatanganku ke langit sini adalah kesalahan fatal. Sebuah tindakan yang wajar jika para penghuni langit tidak mau jika ada pendatang yang akan membuat sedikit kacau tatanan surya yang sudah mapan. Aku sangat berlapang dada dan mencoba memposisikan seandainya aku jadi salah satu dari bagian tata surya itu.

Akhirnya hari kepulanganku ke bumi pun tiba. Aku kira semua urusanku di langit telah selesai dengan baik. Aku salut pada bulan dan pluto meskipun aku pernah bersalah padanya. Akhirnya ia mau memaafkan segalanya. Tapi aku hanya menyayangkan kenapa sampai detik terakhir kepulanganku ke bumi, Mars masih diam saja dan belum bisa kutangkap apa maksud dari diamnya. Dan juga kenapa bulan tidak pernah cerita kalau dia tidak pernah punya sinar sendiri, yang membuat aku terlalu mengaguminya. Sekali lagi apapun alasannnya, ini adalah satu episode kehidupan yang harus dijalani. Dan semoga semua ini menjadikan kita lebih arif dalam menapaki setiap langkah kehidupan ini.

Akhirnya aku sampai juga di bumi dan bisa menikmati lebaran di bumi yang sebenarnya. Sesampainya di bumi, banyak pertanyaan bertubi-tubi perihal kepulanganku. "Kenapa kamu tidak hidup di langit saja atau setidaknya menuggu beberapa hari dan merasakan lebaran di langit sana. Terus apa alasan kamu kembali ke bumi?" Komentar mereka. "Aku hanya ingin jadi khalifah yang baik di muka bumi ini dan bukannya di langit sana," jawabku.

Mahattoh akhir Madrosah, 1 syawal 1428

"Tiada pemberian terindah slain maaf dan

tiada perbuatan termulia selain memaafkan"

Tidak ada komentar: